Dalam sebuah pernyataan pers pada Senin (1/9), Philippe Lazzarini, komisaris jenderal Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA), memperingatkan bahwa semakin lama anak-anak Gaza "tidak bersekolah dengan trauma mereka, semakin tinggi risiko mereka menjadi generasi yang terabaikan, menabur benih kebencian dan kekerasan lebih lanjut."
Data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Palestina yang berbasis di Ramallah menunjukkan betapa dalamnya krisis tersebut. Pada akhir Agustus, kementerian itu menyebutkan bahwa sebanyak 18.489 pelajar tewas dan 28.854 lainnya luka-luka sejak serangan Israel ke Jalur Gaza dan Tepi Barat dimulai setelah pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.
Di kamp pengungsi al-Nuseirat di Gaza tengah, Abu Mohammed al-Hawwash, seorang ayah dari lima anak, mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam.
"Perang ini telah menghancurkan sekolah-sekolah dan universitas serta menewaskan para pelajar dan guru," ujarnya. "Saya khawatir anak-anak saya akan tumbuh dewasa tanpa bisa membaca atau menulis."
Beberapa guru yang juga mengungsi berusaha mengisi kekosongan dengan memberikan pelajaran secara improvisasi, tetapi upaya mereka tetap terbatas.
Suad al-Awadi (35), seorang guru bahasa Arab yang kini tinggal di sebuah tenda di Khan Younis, mengatakan kepada Xinhua bahwa dirinya mengumpulkan kelompok anak-anak di kamp tersebut dan berusaha mengajarkan mereka kemampuan dasar membaca dan menulis.