CARAPANDANG - Gawat, negeriku terbakar. Apa ini gejolak revolusi yang disamarkan dengan demo. Bagian yang paling menusuk iba, kawanku dilindas remukkan oleh monster barakuda baja yang berbadan besar, setara 13 ton.
Pulanglah istirahat abadi, bangas berbelasungkawa, dan kami takkan surut meski dihadang resiko banjir letusan proyektil gas airmata. saling bertatap, pahami pamor penguasa yang rusak.
Segelintir orang ambil untung, duka lara dijadikan bargaining chis untuk kepentingan politik dan ekonomi. Percayalah itu ia sedang menggali liang lahat sendiri.
Ironi memang, di Negeri bekas jajahan adalah kebodohan yang terus dipelihara, dibiarkan tumbuh. Kecelakaan sejarah ini bukan sebagai akibat pendidikan gagal membereskannya, tetapi kebodohan yang sengaja dipelihara sebab menjadi ladang emas menguntungkan bagi praktik politik tunggang-langgang.
Mengapa politik? Sebab berpolitiklah satu-satunya profesi yang memudahkan untuk berbohong, mencuri, menipu, dan tetapi dihormati. Politik dapat dengan kilat jadi sultan, mudah menyabet tanda kehormatan bintang penghargaan tertinggi negara, meski tanpa sumbang jasa untuk bangsa.
Di Negeri bekas jajahan rakyatnya terlalu tulus mengarungi kehidupan, memilih sibuk nyangkul berladang, bercocok tanam, mengais ikan ditengah predator. Orang-orang mulia merintih tangis di tengah terik dan hujan menarik becak, ojek dan mengayuh cidomo demi setali tiga uang recehan.